Trending

Wednesday 14 November 2018

Benarkah Iblis bertauhid


Benarkah Iblis bertauhid?
Pertanyaan ini pernah saya lontarkan saat kuliah teologi di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung.
Mendengar pertanyaan tersebut, dosen teologi saya malah balik tanya: memangnya kenapa jika iblis bertauhid? Ditanya seperti itu saya sempat kaget.
Namun, saya cepat menjawab bahwa pertanyaan tersebut muncul setelah membaca ayat tentang dialog antara Tuhan dan iblis setelah selesai penciptaan manusia pertama dan penipuan ruh. Tuhan memerintahkan malaikat dan iblis agar bersujud kepada Adam, makhluk manusia yang diciptakan Tuhan.
Para malaikat pun bersujud. Hanya iblis yang menolak perintah-Nya. Kejadian ini terekam dalam surah al-Baqarah ayat 34, al-A’raf ayat 11, al-Hijr ayat 29, al-Kahfi ayat 50, Thaha ayat 116, dan Shad ayat 72.
Tuhan kemudian menanyakan alasan iblis tidak mematuhi perintah-Nya. Iblis menyatakan bahwa dirinya lebih mulia ketimbang Adam. Pembangkangan iblis membuat Tuhan marah sehingga diusirnya iblis dari surga dan kelak akan ditempatkan dalam neraka. Iblis tidak bisa berbuat apa-apa atas vonis tersebut. Iblis kemudian meminta kepada Tuhan agar dirinya tidak diwafatkan dan diberi kewenangan untuk menggoda manusia. Iblis pun beraksi sampai Adam dan Hawa terjerumus dalam ketidaktaatan kepada Tuhan. Akibatnya, Tuhan mengeluarkan dua makhluk manusia tersebut dari surga dan ditempatkan di alam dunia.
Menurut Ibnu Arabi, pembangkangan iblis merupakan bentuk penegasan dari sikap mengesakan Tuhan karena yang layak disembah atau bersujud hanya kepada Tuhan. Selain Tuhan tidak pantas untuk disikapi dengan sembahan dalam bentuk sujud. Dari sudut pandang ketauhidan tampaknya sepintas benar. Akan tetapi, ketauhidan tanpa ketaatan sangat tidak bermakna. Begitu juga dengan ketaatan tanpa didasari nilai tauhid sangatlah kurang bermakna. Taat dengan didasari tauhid merupakan substansi agama yang perlu diperhatikan umat Islam dalam menjalankan keberagamaannya.
Dalam khazanah ilmu-ilmu Islam, peristiwa jatuhnya Adam dan Hawa ke dunia ditafsirkan dengan berbagai perspektif. Para filsuf, sufi, dan fuqaha pun berbeda-beda dalam memahami peristiwa tersebut. Muhammad Iqbal (1877-1938) menjelaskan bahwa Adam bukanlah individu yang terlempar karena dosa, tetapi ia adalah simbol dari konsep manusia sadar-diri. Artinya, kejatuhan Adam adalah bermakna peralihan (mengalir) dari tingkat naluriah primitif (yang terpenjara) menuju ke tingkat kesadaran-diri yang merdeka dengan tetap dapat mengalami keraguan dan keingkaran yang manusiawi. Jatuhnya Adam membuktikan bahwa manusia tidak sempurna sehingga ia senantiasa untuk berada dalam proses menuju/menjadi sempurna. Karena itu, seorang manusia mestinya memahami ‘diri yang sejati’ yang terkait dengan siapa aku sebenarnya melalui kehendak-kreatif, atau refleksi yang mendalam sehingga sadar bahwa ada yang Lebih-Mahasempurna di alam semesta ini.
Meskipun iblis itu dikategorikan sebagai contoh makhluk yang durhaka, tetapi keberadaan iblis sangat diperlukan bagi kehidupan manusia karena dengan adanya hambatan yang dilakukan iblis (dalam beribadah kepada Tuhan) manusia menjadi paham bahwa berjalan menuju Tuhan tidaklah semudah membalik telapak tangan. Ikhtiar dan optimalisasi diri dalam beribadah dan menjalankan perannya sebagai khalifah fil ardh menjadi sarana jihad dan ujian keimanan manusia.
Karena itu, keberadaan iblis di alam semesta ini bukanlah sebuah kesia-siaan. Justru dengan hadirnya iblis manusia yang saleh dan bertakwa terseleksi dari manusia-manusia lainnya. Manusia-manusia yang tercerahkan dengan pancaran Ilahi akan mampu melawan rintangan dalam mencapai ibadah yang sejati. Segala potensi buruk yang terdapat dalam diri manusia tidak akan muncul jika seorang manusia telah mengetahui kualitas dan keunggulannya dibandingkan ciptaan Tuhan lainnya.
Kita mengetahui dalam nash bahwa manusia diciptakan dari unsur tanah (materi) dan unsur Ilahi (spiritual). Kedua unsur inilah yang menjadi modal utama manusia untuk menjadi manusia yang berderajat tinggi atau manusia berderajat rendah. Pilihannya bergantung kepada manusia itu sendiri: mengoptimalkan sisi Ilahiyah dengan menyadari diri sebagai hamba yang harus taat kepada Tuhan, atau terus menguatkan sisi materinya sehingga kedudukannya sama seperti tanah yang menyimbolkan kerendahan. Jika yang terakhir menjadi pilihannya, iblis akan semakin menguatkan pilihannya tersebut sehingga ia dapat disebut teman iblis. Sudah pasti manusia jenis ini tidak pernah memerhatikan aspek halal-haram, benar-salah, bahkan agama pun dijadikannya sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan untuk menguntungkan diri dan kelompoknya. Kesalehan tidak lagi menjadi ciri malah menjadi topeng untuk menipu dan menyesatkan umat manusia dari jalan yang lurus. Apabila sudah seperti ini, siap-siaplah menunggu datangnya murka Allah.
Andaikata jatuh pada optimalisasi sisi Ilahiyah yang berarti senantiasa berupaya berjalan dengan petunjuk Tuhan, ia akan tampil sebagai manusia yang secara sosial dipandang baik dan secara agama disebut beriman. Cirinya jelas bahwa sosok manusia ini senang berbuat kebaikan dan tidak menjadi “sampah” masyarakat serta menjadi teladan. Para nabi, rasul, dan Muslim generasi pertama Islam (assabiqunal awwalun) seperti Imam Ali bin Abi Thalib, Khadijah Al-Kubra, Hamzah, dan lainnya, menjadi contoh figur manusia sejati yang mengutamakan Islam.
Bagaimanakah caranya supaya dapat tergolong menjadi manusia yang berderajat seperti generasi pertama Islam? Menurut Ibnu Arabi, tidak ada cara lain kecuali dengan menjadikan dirinya sebagai al-insan al-kamil. Yakni manusia yang berhasil menundukkan potensi kejahilan, syirik, hubuddunya, dan sifat-sifat iblis yang bersemayam dalam diri. Dengan apakah manusia dapat menjadi al-insan al-kamil?
Selain melalui ibadah dan patuh pada hukum Ilahi, yang paling penting menyadari bahwa diri kita akan kembali kepada Yang Maha Sempurna.
[AHMAD SAHIDIN]


HAKIKAT KETAUHIDAN IBLIS
Seorang sufi wanita Rabi’ah Al Adawiyah tidak menyisakan ruang di dalam hatinya untuk membenci setan, Ketahuilah bahwa hakikat segala sesuatu adalah Allah Azza wa Jalla, demikian juga dengan hakikat iblis..
Iblis bukanlah makhluk yang patut dibenci, Al-Hallaj mengakui bahwa iblis adalah figur sang pencinta sejati, seorang yang teguh, ia adalah sang mursyid bagi para malaikat-Nya.. Iblis adalah sosok “ figur sempurna ” bagi para pencinta Kebenaran, kecintaan mutlaknya kepada yang Maha pencipta alam semesta, tidak diragukan lagi.. ujian penderitaan dari sang kekasih diterimanya tanpa bertanya dan menentang .
Hazrat Sarmad menganjurkan manusia agar berguru Tauhid Murni kepada iblis. Ahmad al-Ghazali (adik Imam Al-Ghazali) menilai bahwa manusia yang tidak tahu hakikat iblis, masih belum beriman, cenderung terperosok menduakan Allah.
Dialog antara Allah dan iblis ,di dalam Alquran sangat simbolik. Sebetulnya Allah sedang mengajari kaum Adam dan para malaikat tentang ” Mahabbah ” adalah suatu sikap bakti yang berupa penyerahan tertinggi kepada-Nya, Melalui tindakan iblis di dalam Al Qur’an dikatakan iblis termasuk golongan jin, menurut makna jin disini dalam pengertian “ asing ” bagi komunitas malaikat, yang artinya berasal dari ras yang lain.
Ia bernama Azazil dan selanjutnya hidup di kalangan malaikat, Ia berbakti kepada Allah ribuan tahun lamanya hingga derajat kerohaniannya mencapai derajat malaikat agung, dalam khazanah Sufi, sesungguhnya malaikat merupakan makhluk yang memiliki kesadaran rohani yang tinggi dan berwujud cahaya.
Ketika Allah memerintahkan para malaikat bersungkur sujud di hadapan Adam mereka semua bersujud, kecuali Azazil..
Maka terjadi dialog antara Allah dengan Azazil seperti diterangkan dalam kitab at-Tawasin karya besar Mansur al-Hallaj:
Allah bertanya pada Azazil, ”Mengapa kau enggan bersujud pada Adam ? ”
Azazil menjawab, ”Tiada yang patut kuagungkan selain Diri-Mu.”
Allah bertanya balik, ”Meskipun kau akan menerima kutukan-Ku ?”
Azazil menjawab, ”Tidak mengapa, karena hasrat hatiku tak sudi condong pada yang lain selain Diri-Mu.
Kemudian Azazil bersyair:
“Kendati Kau membakarku dengan Api Suci-Mu yang menyala-nyala untuk selamanya, aku tak akan pernah sudi tunduk pada kesadaran ego (manusiawi) pernyataanku berasal dari hati yang tulus dalam Cinta aku memiliki kemenangan, bagaimana tidak ?”
Azazil melanjutkan syairnya:
“Sesungguhnya tiada jarak yang memisahkan Dikau denganku ketika tujuan tercapai kedekatan dan jarak adalah satu, kendati aku ditinggal derita keadaan itu akan menjadi karibku jika Kasih itu satu, bagaimana kita bisa berpisah? dalam kemurnian yang mutlak, Diri-Mu kuagungkan bagi seorang hamba dengan hati yang benar bagaimana dia menyembah sesuatu selain Dikau ?”
Ribuan kali, Yang Maha Mengetahui memerintahkan Azazil bersujud, tetapi dia tetap enggan.
lalu ia bersyair: “Ya Allah, segala sesuatu termasuk diriku ini adalah milik-Mu Kau telah memberikan ku pilihan, namun Kau telah menentukan pilihan-Mu bagiku, jika Engkau melarangku dari bersujud, Kau adalah Pelarang, Jika aku salah paham, jangan Kau tinggalkan daku, jika Kau menginginkanku bersujud dihadapannya, hamba patuh namun tak seorangpun lebih mengetahui tentang Maksud-Mu selain Nuraniku ini.”
Atas penolakannya, Yang Maha Pengasih menganugerahkan “Kafir” pada Azazil berupa kutukan dan penderitaan.. dengan pasrah, tanpa bertanya lagi, tanpa mengeluh, ia menerima Anugerah-Nya yang tertinggi, sekaligus terberat.
Catatan :
Kenapa Iblis menerima begitu saja tanpa menolak kutukan Allah? Tidak protes sedikitpun? Namun Sekiranya Allah menganugerahkan Murtadin kepada Azazil, niscaya dia akan menolak, iblis tahu, kekafiran adalah menyembah selain Allah, dan iblis tidak pernah meNuhankan selain Allah, sangat jauh berbeda jika dikatakan Murtad, Murtad berarti meninggalkan Allah dan menyembah kepada sembahan lain, dan Azazil tidak akan pernah melakukan itu.
Mulai dari sinilah Rencana Allah untuk membuat Surga dan Neraka berfungsi sebagai tempat kembali bagi manusia, dan Dunia ini sebagai ciptaan bagi manusia mengarungi kehidupan dan cobaan dari Allah. Sekiranya Allah memberi pengetahuan kepada Iblis akan keutamaan Adam, dan mengetahui bahwa sujud kepada Adam adalah sujud perhormatan kepada Hakikat Muhammad pada diri Adam, dan bukan sujud penyembahan, niscaya Iblis ( Azazil ) akan bersujud. Tapi tidak demikian adanya, karena Iblis sendiri akan diberi Tugas Oleh Allah, sebagai bahan cobaan dan ujian (penguji) bagi hamba-hamba Allah yang beriman.
Sekiranya Iblis bersujud kepada Adam, maka Dunia ini tidak akan di huni oleh manusia, dan firman Allah “ Aku jadikan Manusia untuk menjadi Khalifah dimuka Bumi “ menjadi tidak terlaksana, Maha Suci Allah dari kekurangan dan kesalahan, Maha sempurna Allah Atas segala RencanaNya.
Jika Bumi ini tidak dihuni Oleh manusia sesuai dengan rencana Allah tadi, maka Surga dan Nerakapun akan menjadi ciptaan yang sia-sia adanya, Maha Suci Allah dari segala kekurangan dan Rencana Allah itu Sempurna.
Maka Jadilah Sang Iblis sebagai Penguji, Para Nabi dan Rasul sebagai Guru pembimbing bagi manusia, Alquran sebagai Mata Pelajaran dan Al Hadits sebagai pedoman didalam memahami Mata Pelajaran tersebut.
Jika Iblis sujud kepada Adam, maka manusia tidak akan menjadi khalifah diatas bumi, tidak akan diturunkan 4 Kitab Suci, tidak akan diturunkan Para Nabi dan Rasul, dan yang terakhir, Surga dan Nerakapun akan menjadi ciptaan yang sia-sia. Pernyataan Allah didalam Alquran : “ Iblis adalah musuh yang nyata bagimu “ ini adalah secara sar’i, yakni secara lahiriyah, bukan secara hakikat. ( Kenalilah Musuhmu, maka kamu akan mengalahkannya)
Catatan :
Mari kita mengupas sedikit firman Allah yang berbunyi
“Wa Ma Khalaktul Jinna Wal Insa Illa Liya’budun“
“Dan Tidak Aku ciptakan Jin dan Manusia melainkan untuk menyembah kepadaKu”
Dalam ayat Lain Allah berfirman, yang Artinya:
“Aku Allah Cahaya langit dan Bumi, Aku bimbing kepada cahayaKu, mereka yang aku kehendaki, dan aku tutup hati mereka yang aku kehendaki… Dan Wahai Muhammad, datang kepada mereka petunjuk atau tidak datang kepada mereka, mereka tetap tidak akan beriman.”
Kalau kita melihat kedua ayat tersebut, seakan-akan terjadi kontroversi, pada ayat pertama Allah hanya menciptakan Jin dan Manusia untuk menyembah kepadaNya.
Akan tetapi pada Ayat kedua, sangat jelas bahwa keimanan seseorang, atau suatu kaum itu karna kehendak Allah, dengan ijin Allah “ datang kepada mereka petunjuk atau tidak, mereka tetap tidak akan beriman” kecuali jika Allah membimbing kepada cahayaNya. ( Maka berbahagilah kita yang menganut Addinul Islam ) karna kita termasuk mereka yang dibimbing Allah kedalam cahayanya.
Sebenarnya kedua Ayat tersebut memiliki makna yang sama, ayat pertama memiliki kandungan yang harus ditafsirkan dulu menurut tatabahasa dan bentuk kalimat serta Hurufnya. Kita lihat Kalimatnya
“Wa Ma Khalaktul..
Allah memakai kalimat MA untuk mengatakan TIDAK, bukan dengan kalimat LA, menurut pengertian kalimat MA itu bukan berarti TIDAK yang benar-benar TIDAK pada hakikatnya, Tetapi TIDAK yang memiliki makna ada yang selainnya.
Sebagai Contoh :
ketika malaikat Jibril menemui Rasulullah dan membawa Ayat Pertama Ikra :
’Ikra’ Bismirabbika…..
“Bacalah dengan Nama Tuhanmu “
Rasulullah menjawab :
“Wa Ma ana biqori “
Saya tidak bisa membaca, Rasulullah menjawab seperti itu bukan berarti Rasulullah benar- benar tidak bisa membaca, hanya saja Malaikat Jibril menyerukan kepada Rasulullah untuk membaca, tapi tidak membawa sesuatu yang bertulis untuk dibaca, jelas saja akan ada jawaban “ saya tidak bisa membaca “ karna tidak ada yang sesuatu yang bertuliskan yang bisa dibaca.
Kita lanjutkan lagi, sekiranya Allah Memakai Kalimat La pada ayat tersebut diatas, menjadi
”Wa La Khalaktul Jinna Wal Insa Illah liya’ budun“
Niscaya semua Manusia diatas bumi ini akan berada dalam satu Addin, yakni Islam. Jika demikian Maka Neraka akan menjadi ciptaan yang sia-sia pula, jadi semua hal ini saling terkait, mulai dari penciptaan Nasf ( nafsu), ke engganan Azazil ( Iblis) untuk sujud kepada Adam, Penciptaan Bumi dan Kekhalifaan Manusia diatas Bumi ini.
Nabi Muhammad pernah mengalami test serupa, Beliau diperintahkan-Nya, ” Lihatlah ” Beliau tidak bergeming, tidak berputar ke kanan, tidak pula ke kiri ( beliau tahu bahwa Dia bersemayam di Dalam Diri ).
”Jangan mengkambing hitamkan iblis atas perilaku buruk kita, manusia benar-benar mandiri dan bertanggung jawab sendiri untuk memilih jalan yang baik atau buruk dengan Ijin allah“.
Mari kita melihat sedikit percakapan antara Rasulullah dengan Azazil ( Iblis ) : yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a.
Azazil berkata : “Wahai Muhammad, sebenarnya saya tidak bisa menyesatkan sedikit pun. Akan tetapi saya hanya akan mengganggu dan menghiasi. Andaikan saya memiliki hak dan kemampuan untuk menyesatkan, tentu saya tidak membiarkan segelintir manusia pun di muka bumi ini yang masih sempat mengucapkan dua kalimat Syahadat, ‘Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Utusan-Nya’. Tidak akan ada lagi orang yang shalat dan berpuasa. Sebagaimana engkau wahai Muhammad, tidak berhak untuk memberikan hidayah sedikit pun kepada siapa saja. Akan tetapi engkau adalah seorang utusan dan penyampai amanat dari Allah.
Andaikan engkau memiliki hak dan kemampuan untuk memberi hidayah, tentu engkau tidak akan membiarkan segelintir orang kafir pun di muka bumi ini. Engkau hanyalah sebagai argumentasi (Hujjah) Allah SWT terhadap mahluk-Nya.
Sementara saya hanyalah menjadi sebab celakanya orang yang sebelumnya sudah dicap oleh Allah sebagai orang celaka. Orang yang bahagia dan beruntung adalah orang yang dijadikan bahagia oleh Allah sejak dalam perut ibunya, sedangkan orang yang celaka adalah orang yang dijadikan celaka oleh Allah sejak dalam perut ibunya”.
Baik dan buruk hanyalah refleksi Kebenaran Dan Allah di atas baik dan buruk, di atas cahaya dan kegelapan.. Nur ‘ala Nur, Allah itu Nur di atas Nur
Renungkan syair Azazil berikut:
“Ya Allah, Engkau membebaskanku karena selubungku terbuka, Engkau membuka selubungku karena KeesaanKu membuatku satu dengan-Mu, dari perpisahan demi Keberadaan-Mu Yang Nyata aku tak bersalah telah bersekongkol dalam kejahatan, tidak pula menolak nasibku tidak pula gelisah dengan perubahan yang kualami, dan aku bukanlah orang yang membentang-kan di hadapan manusia jalan kesesatan.”
Semoga kisah iblis ini menjadi hikmah bagi kita semua untuk selalu taat kepada Allah yang menyejukkan kalbu, mendamaikan hati, sehingga hati kita hanya terisi dengan Cinta Kasih, dan serta merta dunia pun akan damai ! Kebenaran hanyalah Milik Dia Yang Maha Benar Dan Maha Mengetahui.


Comments
0 Comments
Facebook Comments by Blogger Widgets

No comments:

Post a Comment

About

Popular Posts